You are currently viewing Memaknai ZIS yang sesungguhnya (Ust.H.M Ridwan)

Memaknai ZIS yang sesungguhnya (Ust.H.M Ridwan)

Zakat, infaq dan shodaqoh adalah nama yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan umat Islam. Selain ketiganya merupakan bagian yang disyari’atkan juga merupakan ibadah Maliyah yang berdampak pada kesejahteraan umat, artinya dalam sebuah negara yang mayoritas muslim tidak akan pernah terjadi orang dibiarkan tetap dalam keadaan miskin. Dalam kaitan ini patut untuk dipertanyakan mengapa dinegara kita yang katanya mayoritas muslim ternyata kemiskinan masih menjadi masalah nomer satu.

Berdasarkan standard BPS sebanyak 13 % atau 30 juta orang termasuk kategori miskin, angka tersebut kian meningkat jika menggunakan standard internasional versi Bank Dunia yaitu 43 % atau sekitar 100 juta jiwa. Sebuah angka yang menakjubkan dan hanya layak disandang oleh Negara gagal.

Fenomena ini memaksa kita untuk mengkaji ulang terhadap apa yang sedang terjadi? Karena kita meyakini bahwa syari’at Islam adalah satu-satunya aturan yang sempurna yang akan melahirkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Jika kemaslahatan itu tidak tercapai artinya ada yang salah dalam pelaksanaannya.

Beberapa hal penting mengenai ZIS tampaknya dapat dijadikan bahan kajian kritis :

  1. Masih lemahnya pemahaman tentang shodaqoh, bahkan perlu adanya perubahan pola pikir dan mental. Kebanyakan orang menempatkan dirinya sebagai orang yang berhak menerima shodaqoh dibandingkan dirinya sebagai pemberi shodaqoh. Shodaqoh sebenarnya telah menjadi tanggung jawab setiap muslim, sebagaimana hadits Nabi Saw

مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ

“Apa-apa yang ada padaku dari kebaikan (harta) sekali-kali tidaklah aku akan meyembunyikannya dari kalian semua. (Al Bukhorie 1376).

Maksudnya adalah tanggung jawab bagi setiap muslim adalah bershodaqoh. Hadits ini pun sekaligus memotifasi orang untuk bekerja lebih keras agar mampu bershodaqoh “Tangan di atas lebih baik dibandingkan tangan di bawah”.

  • Sebagian Umat Islam memahami bahwa mengeluarkan shodaqoh hanya akan menguntungkan bagi si penerima shodaqoh, padahal hampir tidak ada dalil yang menjelaskan tentang keuntungan, keutamaan atau pahala-pahala bagi si penerima shodaqoh (selain barang yang diterimanya). Justru sebaliknya banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang pahala, keuntungan bahkan berlipat justru bagi si pemberi. Mulai dari tata cara, barang yang harus diberikan dan tadzkiroh bagi prilaku yang dapat merusak pahala pemberi shodaqoh. Artinya si penerima shodaqoh hanyalah penyedia sarana keuntungan bagi si pemberi. Jika demikian lebih pas jika si pemberi berterima kasih kepada si penerima, memang kesannya menjadi aneh. Tapi inilah sebenarnya yang bisa memotifasi orang untuk berlomba dalam kebaikan.
  • Tidak sedikit orang memaknai kaya itu dengan cara menumpuk-numpuk harta, sehingga tidak heran ketika shodaqoh itu dimaknai dapat mengurangi harta. Padahal pengertian kaya dalam Islam justru ditujukan bagi orang-orang yang bershodaqoh. Karena dengan shodaqoh telah menyimpan atau investasi sebagian harta pada orang lain. Orang yang menerima shodaqoh menjadi lahan kebaikan. Sekali lagi ketika kita bershodaqoh sebenarnya kita sedang berusaha mencari kebaikan bagi kita sendiri bukan bagi orang lain, justru harta yang kita tumpuk semakin lama akan habis karena kita makan.
  • Kultur jelek masyarakat kita terutama para pemimpin dan aghniya (dalam kontek shodaqoh) turut memperparah pola demokrasi liberal yang selama ini terjadi. Masih banyak pemberi yang tidak lepas dari kepentingan politik atau kepentingan pribadi, sehingga masyarakat yang menerima justru malah terbebani bukan terbantu. Pemberi seperti ini lebih menjadikan si miskin sebagai objek demi kepentingannya. Munculnya istilah “Money Politik” tidak lebih dari pola pemberian bantuan bersyarat baik disebutkan atau tidak. Dari sinilah kemudian lahir istilah pola hidup kapitalisme, pemaksaan, perbudakan atau keterpaksaan yang pada akhirnya tidak jelas siapa pemberi atau siapa penerima.

Jika hal ini yang terjadi, maka shodaqoh akan kehilangan makna. Berapapun banyaknya yang bershodaqoh, kemiskinan akan tetap bertambah dan tidak bisa dihilangkan, yang lebih parah lagi justru tidak sedikit warga yang “mengaku miskin” justru berdesakan dan antri untuk menerima shodaqoh, sampai harus ada yang kehilangan nyawa.

Share this post

Leave a Reply