Dalam merespon tantangan dinamika nasional dan global dewasa ini, putusan-putusan organisasi tidak cukup hanya bertumpu pada satu pertimbangan disiplin keilmuan, misalnya hanya bersandar pada kajian fiqih yang kemudian menghasilkan fatwa. Fatwa penting dalam menjaga tradisi atau meminjam istilah kaum Nahdliyin aspek al-muhafadzah ‘ala al-qadim as-shalih, namun pada saat yang sama, tentu saja banyak aspek perubahan yang jauh melampaui persoalan fiqhiyah. Perubahan inilah yang memerlukan itjihad dan tajdid ilmiah yang interdisiplin dengan bobot akademis yang dapat dipertanggungjawabkan. Langkah ini sebagai apa yang dikenal dengan al-akhdzu bil jadid al-ashlah. Kebaruan itu pada dasarnya tidak pernah berhenti, saat berhenti maka dia tidak lagi baru. Oleh karena itulah, yang tidak atau sulit menerima perubahan, sering disebut sebagai kelompok yang statis atau jumud sebagai sifat sebaliknya dari dinamis dan terus membaru. Pembaruan (tajdid) pun berhenti.
Dalam kaitan ini, tujuan Persis yang hanya berdimensi syariah sebagaimana tertuang dalam Qanun Asasi-nya, terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut. Pokok ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana telah umum diketahui, biasanya dibagi kepada tiga aspek, yaitu, akidah, syariah, dan akhlak. Atau dimensi iman, Islam dan ihsan. Islam juga biasa didekati ke dalam dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu aspek syariah-lahiriah dan aspek hakekat-batiniah, atau aspek eksoteris dan esoteris. Persis tentu saja sangat concern juga dengan bidang akidah dan akhlak. Hanya saja, penekanan nampaknya memang pada syariah sebagai sebuah pendekatan dakwahnya, sehingga sebagai organisasi Islam puritan, orientasinya selalu berkenaan dengan hukum yang hitam dan putih: bid’ah-sunnah, halal-haram, dan sejenisnya. Dalam hal akidah pun, lebih kepada corak pemurnian daripada akidah transformatif yang berdimensi tauhid sosial.
Hal ini menggambarkan kuatnya pendekatan fikih yang dikembangkan ulama Dewan Hisbah tersebut, dalam hampir seluruh gerak aktivitas organisasi Persatuan Islam. Fikih yang dimaksud adalah yang berbasis pada sebuah cara pandang integralistik-ideologis dalam memandang hubungan kehidupan agama dan politik, sehingga tatanan ideal sistem politik yang dinilai Islami menjadi tujuan dari perjuangannya.
Bila meletakkan Islam dalam dimensi yang lebih luas, agenda jihad Persatuan Islam mestinya tidak terbatasi hanya pada aspek syar’iah semata. Sehingga dengan demikian, keulamaan Dewan Hisbah hendaknya dipahami sebagai salah satu penopang dakwah, dan bukan satu-satunya yang mewarnai khazanah pemikiran dan gerakan Persis.
Problem bangsa skala nasional dan problem kemanusian secara global, memerlukan pendekatan Islam yang multiperspektif, agar ajarannya dapat menjadi jawaban atas berbagai persoalan kontemporer. Islam tidak tereduksi hanya pada formalisme syariah, tetapi jauh lebih luas dan lebih dalam dari itu. Islam juga merupakan peradaban yang lahir dari interaksi dialogis antara nilai ajaran dengan dimensi kreatifitas manusia di panggung sejarah.
Sebagaimana juga peradaban lain, peradaban Islam juga mengandung kreasi dan daya cipta manusia yang inspirasinya terdorong oleh nilai-nilai ajaran Islam, seperti dorongan Al-Qur’an dan pesan kenabian untuk mencintai dan mendalami ilmu pengetahuan serta memanfaatkan ilmu pengetahuan tersebut untuk memakmurkan bumi ini sebagai tugas kekhalifahan manusia.jadi selain dimensi sakralnya, Islam juga mengandung aspek duniawi-sekular yang dinamis. Menggabungkan antara aspek transenden dan temporal, antara dimensi ukhrawi dan duniawi. Menurut Ibnu Rusyd, wahyu dan akal tidaklah bertentangan, keduanya merupakan anugerah Allah swt. Peradaban Islam masa lalu mampu menyerap warisan ilmu pengatahuan dari para pemikir Yunani untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan lainnya. Sejumlah peneliti Barat mengakui bahwa peradaban Islam menjadi jembatan lahirnya era Renaisans dan Pencerahan perdaban Barat modern.
Saatnya Persis mengambil peran yang lebih luas demi meningkatkan taraf kehidupan umat Islam dalam berbagai bidang. Dan langkah tersebut akan sulit ditempuh apabila paradigmanya tidak bergeser. Persis akan sulit mengambil bagian dalam membangun peradaban bila hanya mengandalkan pendekatan keislaman bercorak keulamaan fiqih semata. Kritik atas dominasi fikih oriented, sesungguhnya, telah lama didiskusikan oleh para aktivis Persis terutama kelompok muda. Namun karena keterbatasan lembaga pendidikan tinggi yang dimiliki Persis, pengembangan wawasan keislamaan yang berdimenasi ilmu pengetahuan dan sains, belum terlihat signifikan. Meskipun masih terbatas jumlahnya, kehadiran STAI dan Universitas Persatuan Islam diharapkan dapat menjadi pusat pengembangan organisasi Persis, sebagai tempat lahirnya para akademisi di berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Melihat kelahiran setiap peradaban, maka jalan kebangkitan umat nampaknya adalah dari kebangkitan ilmu pengetahuan, bukan politik. Kuntowijoyo menyatakan, setelah memasuki era Kemerdekaan, umat Islam di Indonesia berada dalam fase yang dia sebut dengan periode ide yang dicirikan dengan ilmu pengetahuan sebagai basisnya. Berbeda dengan fase mitos dan ideologi pada sebelumnya, maka pada fase ide, umat Islam telah memiliki identitas baru mereka sebagai warga negara dari sebuah negara bernama Indonesia. Umat Islam dengan demikian memiliki kedudukan yang sama dengan umat agama lain, sama-sama sebagai warga negara. Ilmu pengetahuan memainkan peran penting dalam menerjemahkan pesan-pesan keagamaan bagi pengembangan taraf kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam, menurut Kuntowijoyo, pesannya dihadirkan secara objektif atau dia menyebutnya dengan objektifikasi, sehingga tidak hanya milik umat Islam tapi menjadi nilai substantif milik bersama semua warga. Dengan kata lain, perjuangan Islam dewasa ini tidak mengejar yang bersifat simbolik, tetapi lebih pada substansinya. Dan hal tersebut diwujudkan melalui ijtihad ilmu pengetahuan. Maka, dengan objektifikasi itu pula, pembelaan atau keberpihakan tidak hanya berorientasi internal umat Islam, tapi juga bersifat kemanusiaan universal, seperti problem kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, korupsi dan lemahnya penegakan hukum, keruksakan lingkungan global, dan sebagainya.
Jadi, kembali kepada Al-Quran dan Sunnah pada dasarnya juga adalah seluruh kegiatan ijtihad penelitian terhadap semua fenomena alam atau ayat-ayat kauniyah, baik hukum-hukum alam atau hukum sejarah dan sosial. Al-Quran dihadirkan menjadi ilmu pengetahuan, bukan lagi sebatas pesan-pesan doktrin normatif, tetapi diderivasikan menjadi rumusan-rumusan teori ilmiah. Dengan demikian, kembali kepada Al-Quran dan Sunnah bukanlah kembali kepada masa lalu, tapi menghadirkan aktualitas Islam di masa kini yang mampu menjawab masalah-masalah kemanusiaan kontemporer.
Era ilmu pengetahuan juga, menurut Karl Popper, menjadi ciri dari sebuah masyarakat terbuka (open society). Ilmu pengetahuan memungkinkan sebuah masyarakat terus melakukan perbaikan sesuai watak sains yang bersifat terbuka untuk mendapatkan verifikasi dan falsifikasi. Sebuah teori dapat tidak berlaku setelah ditemukan teori baru yang menggugurkannya. Masyarakat terbuka tidak menghendaki utopisme absolut yang bersifat totaliter yang memimpikan kesempurnaan final sebuah negara atau masyarakat.
Masyarakat terbuka adalah proses. Proses yang terus memperbaiki dan menyempurnakan dari dialektika pemikiran yang berlangsung di dalamnya. Masyarakat seperti ini, pada saat yang sama, akan mampu mengakomodasi pluralitas menjadi harmoni, berkembang sikap saling toleran antara golongan atau kelompok yang berbeda. Maka, dalam hal ini, sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang plural, Persatuan Islam penting untuk lebih mengedepankan dialog daripada konfrontasi dalam menyampaikan dakwahnya, dengan tujuan mencari titik persamaan dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda, baik dalam mazhab, keyakinan atau beda agama. Dengan cara ini, terbangun ta’aruf dan kemudian ta’awun dengan semua komponen bangsa untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia. Juga dipahami, bahwa taawun kebangsaan pun, bisa dalam bentuk kerjasa mendukung kebijakan pemerintah, dan sebaliknya, mengkritik pemerintah apabila mereka tidak amanah dalam menjalankan pemerintahan.
Masa depan Persis akan banyak bergantung pada langkah pengembangan ilmu pengetahuan. Bisa dimulai dari peningkatan kualitas penyelenggaraan pesantren yang berwawasan sains, dengan membuat beberapa model pesantren terelebih dahulu. Sejalan dengan itu, pengembangan perguruan tinggi Persis menjadi upaya yang penting selain juga mencetak sebanyak-banyaknya kalangan cendekiawan-akademis di lingkungan Persatuan Islam, salah satunya melalui kaderisasi menyekolahkan para mahasiswa Persis melanjutkan ke perguruan tinggi di luar negeri, terutama di belahan Eropa dan Amerika.
Oleh: Ariful Mursyidi (Alumni Pesantren Persis 92 Majalengka, Media Kalam Institute)
Share this post